Ahmadun Yosi Herfanda
walau kaubungkam suara azan
walau kaugusur rumah-rumah tuhan
aku rumputan
takkan berhenti sembahyang
: inna shalaati
wa nusuki
wa mahyaaya wa
mamaati
lillahi rabbil
‘alamin
topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahyang penyerahan habis-habisan
walau kautebang aku
akan tumbuh sebagai rumput baru
walau kaubakar daun-daunku
akan bersemi melebihi dulu
aku rumputan
kekasih tuhan
di kota-kota disingkirkan
alam memeliharaku subur di hutan
aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
: sesungguhnya
shalatku dan ibadahku
hidupku dan
matiku hanyalah
bagi allah
tuhan sekalian alam
pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
pada tanah akar kupertahankan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
menggetarkan jagat raya
: la ilaaha
illallah
muhammadar
rasulullah
aku rumputan
kekasih tuhan
seluruh gerakku
adalah sembahyang
1992
2. Ciuman
Pertama Untuk Tuhan
Ahmadun Yosi Herfanda
Merendehkan diri di bawah telapak
kaki
Dalam tahajud paling putih dan
sunyi, akhirnya
Sampai juga aku mencium Tuhan.
Mungkin kaki atau telapak
Tangannya – tapi aku lebih ingin
mengecup dahinya
Duhai, hangatnya sampai ke ulu jiwa.
Inilah ciuman pertamaku, setelah
berabad-abad
Gagal meraihnya dengan beribu rakaat
dan dahaga
Tiada kecerdasan kata-kata yang bisa
menjangkaunya
Tak juga doa dalam tipu daya air
mata — Duhai Kekasih,
Raihlah jiwaku dalam hangatnya Cinta
Bertahun-tahun aku merindu, bagai
Rabiah
Tiada lain kecuali merindu Engkau.
Duhai Kekasih,
Tenggelamkan kini aku ke dalam
cahayamu
Jakarta, Agustus 2003
3. Aku
Chairil Anwar
Kalau
sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalangKu mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maret 1943
4.
Darah Juang
Wiji Tukul
di
sini negeri kami
tempat padi terhampar luas
samuderanya kaya raya
tanah kami subur, Tuhan.
di negeri permai initempat padi terhampar luas
samuderanya kaya raya
tanah kami subur, Tuhan.
berjuta rakyat bersimbah luka
anak kurus tak sekolah
pemuda desa tak kerja
mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
Bunda,relakan darah juang kami
‘tuk membebaskan rakyat
padamu kami berjanji
padamu kami berbakti
‘tuk membebaskan rakyat
5.
Teratai
Sanusi Pane
Dalam kebun ditanah airku,
Tumbuh sekuntum bunga
teratai,
Tersembunyi kembang indah
permai,
Tidak terlihat orang yang
lalu.
Akarnya tumbuh di hati
dunia,
Daun bersemi laksmi
mengarang,
Biarpun ia diabaikan
orang,
Seroja kembang gemilang
mulia.
Teruslah, o Teratai
Bahagia,
Berseri di kebun
indonesia,
Biar sedikit penjaga
taman.
Biarpun engkau tidak
dilihat,
Biarpun engkau tidak
diminat,
Engkaupun turut menjaga
Zaman.
(Sanoesi
Pane, 1929)
6. Kangen
WS. Rendra
WS. Rendra
Kau tak akan
mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
7. Dalam Doaku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
7. Dalam Doaku
Sapardi Djoko Damono
Dalam doaku subuh ini kau
menjelma langit yangsemalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu.